Luwuk (ANTARA) 5 Agustus 2009- Sebuah perusahaan swasta nasional yang berencana membuka perkebunan sawit seluas 17.500 hektar di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, diduga kuat telah melanggar Undang-Undang No.4 Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup.
Dugaan pelanggaran yang dilakukan PT Wira Mas Permai (WMP) itu diketahui setelah warga di sekitar areal yang dicadangkan untuk perkebunan sawit di Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai, menemukan adanya sejumlah aktivitas perusahaan ini, padahal belum mengantongi dokumen analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal).
Dalam rapat dengar pendapat yang digelar Komisi Gabungan DPRD Kabupaten Banggai dengan menghadirkan manajemen PT WMP, pejabat instansi teknis setempat, serta perwakilan warga Bualemo, Sahabuddin dari perwakilan warga menyatakan keheranannya atas adanya aktivitas PT WMP di lapangan.
“Koq, Amdalnya belum terbit, tapi perusahaan ini sudah membuka jaringan jalan, melakukan kegiatan perbenihan, dan membangun base kamp di lokasi perkebunan,” katanya mempertanyakan.
Apalagi, lanjut dia, Amdal perkebunan sawit itu direncanakan baru dipresentasikan perusahaan ini pada Rabu (5/8) di kota Luwuk.
Dalam acara dengar pendapat yang dipimpin Oskar Paudi dari Partai Amanat Nasional itu, Sahabuddin juga mengatakan kalau PT WMP telah memanipulasi dokumen persetujuan masyarakat sekitar lokasi perkebunan untuk mendukung kegiatan usahanya.
“Wah, ini sudah penipuan dan masuk delik hukum. Masakan daftar hadir yang ditanda-tangani warga dari sejumlah desa saat acara sosialisasi perkebunan sawit beberapa waktu lalu justru diubah menjadi daftar persetujuan, sehingga pihak perusahaan kemudian mendapatkan izin usaha perkebunan (IUP) dari pemerintah daerah,” ujarnya.
Menurut dia, lebih 4.000 kepala keluarga dari sejumlah desa di Kecamatan Bualemo tidak setuju dengan pembukaan perkebunan besar tersebut, karena dampaknya dapat merusak kawasan hutan yang menjadi daerah tangkapan air untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari.
Apalagi, katanya, sebagian besar warga di kecamatan ini menggantungkan hidup dari usaha tanaman padi ladang serta tanaman perkebunan lain, sehingga sangat bergantung pada sumber mata air dari kawasan hutan yang kini sudah dikuasai PT WMP.
“Kami tidak makan sawit, tetapi kami hanya mau makan beras,” kata seorang warga Bualemo yang duduk di kursi bagian belakang.
Menanggapi kecaman perwakilan warga Bualemo ini, Olan yang manajer perkebunan PT WMP pada rapat dengar pendapat itu mengatakan kalau sebagian kegiatan perusahaannya di lapangan, seperti pembibitan sawit, sudah mendapatkan persetujuan dari Pemkab Banggai.
“Kami juga berusaha di sini karena memperoleh izin dari pemerintah daerah,” kata dia.
Mengenai dugaan telah memalsukan tanda tangan masyarakat sekitar kawasan perkebunan sebagai salah satu persyaratan dukungan untuk mendapatkan IUP dari pemerintah daerah serta dalam menyusun dokumen Amdal, Olan menolak menanggapinya.
Sementara itu, seorang pejabat Dinas Kehutanan Kabupaten Banggai yang hadir dalam rapat tersebut mengatakan kalau izin lokasi perkebunan sawit yang diberikan pemerintah daerah kepada PT WMP tidak tumpang tindih dengan lahan garapan masyarakat.
“Lokasi perkebunan sawit itu memanfaatkan areal penggunaan lain-lain (APL), dan sama sekali tidak menyerobot lahan garapan penduduk karena letaknya berada di sebelahnya,” kata pejabat tersebut.
Acara dengar pendapat ini tidak berhasil menyembatani perbedaan persepsi kedua belah pihak berseberangan, kecuali pimpinan rapat Oskar Paudi menyatakan anggota DPRD setempat dalam waktu dekat akan melakukan peninjauan lapangan sebelum mengambil keputusan.