Brain drain didefinisikan sebagai “depletion or loss of intellectual and technical personnel” [8]. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh British Royal Society untuk menjelaskan fenomena arus keluar ilmuwan dan teknolog ke Amerika dan Kanada pada tahun 1950-an dan awal 1960-an [3]. Migrasi kaum intelektual ini terjadi hampir di seluruh dunia, baik negara berkembang maupun negara maju [3,7]. Amerika menjadi negara yang menikmati dampak positif dari fenomena brain drain (brain drain net importer). Negara ini sadar benar dengan pentingnya keberadaan kaum cerdik cendekia di negaranya. Amerika menerbitkan program visa khusus untuk menarik kaum terpelajar dari seluruh dunia datang dan memperkuat ekonomi negara Paman Sam [3,7]. Sementara itu, negara-negara berkembang seperti India, China, Pakistan, dan Filipina dilaporkan mengalami eksodus kaum intelektual ke Amerika dan Eropa Barat.
Dari segi finansial, brain drain memberikan kerugian ganda bagi net exporter brain drain: capital flight akibat terbangnya sumber daya manusia yang telah menerima dukungan biaya pendidikan dari pemerintah dan capital flight karena harus membayar tenaga asing untuk menggantikan posisi-posisi yang seharusnya bisa diisi oleh SDM dalam negeri. Sebagai contoh, India dilaporkan mengalami kerugian sekitar 2 miliar dolar AS per tahun akibat terbangnya kaum cerdik cendekia ke luar negeri [7], sementara benua Afrika harus merogoh kocek hingga 4 miliar dolar AS per tahun untuk membayar tenaga profesional asing di negaranya [7]. Meski di sisi yang lain, secara ekonomi patut diakui bahwa para pelaku brain-drain juga memberikan capital input dalam bentuk pengiriman uang, utamanya kepada keluarga di dalam negeri. Dana yang dikirim Philippinos yang bekerja di luar negeri dilaporkan mencapai 10,7 miliar dolar AS pada tahun 2006, yang setara dengan 12% GDP negara tersebut
tahun 2005 [7]. Meski pada saat yang sama, sekolah kedokteran dan rumah sakit di Filipina mengalami kesulitan akibat eksodus tenaga profesional tersebut [7].
Ada beberapa penyebab terjadinya brain drain, di antaranya faktor ekonomi, sosial-budaya, politk, dan keamanan. Masalah ekonomi, tidak dapat dipungkiri, merupakan faktor pendorong klasik terjadinya migrasi manusia, bukan hanya kaum intelektual, melainkan juga orang kebanyakan yang hendak memperbaiki kesejahteraannya. Faktor sosial dan budaya (riset) menjadi daya tarik manakala negara tujuan brain drain tersebut dikenal memiliki budaya riset yang maju. Riccardo Giacconi, fisikawan Itali penerima Nobel bidang fisika menyatakan “A scientist is like a painter. Michelangelo became a great artist, because he had been given a wall to paint. My wall was given to me by the United States” [4]. Peperangan, sentimen etnis dan agama, serta konflik politik juga dapat memicu terjadinya brain drain.
Bagaimana dengan Indonesia?
Tidak ada data akurat tentang berapa banyak kaum cerdik cendekia Indonesia yang menetap dan bekerja di luar negeri. Jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri ditaksir mencapai angka 50 ribu orang [1]. Sedangkan jumlah ilmuwan Indonesia yang bekerja di luar negeri ditaksir mencapai angka ratusan orang [4]. Seribu orang “hanyalah” 0,0004 persen bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang saat ini sudah lebih dari 220 juta orang. Namun, jangan lupa bahwa karya-karya intelektual yang bermutu umumnya hanya dihasilkan dari segelintir orang, bisa jadi hanya dari beberapa ribu atau bahkan ratus orang di antara angka 220 juta jiwa tersebut. Pada tahun 1926, Alfred J. Lotka melakukan penelitian tentang distribusi produktivitas ilmiah. Lotka kemudian merumuskan inverse square law of productivity [6]. Dari hukum tersebut dapat dinyatakan bahwa dari populasi “p” ilmuwan, jumlah orang yang menghasilkan “n” karya ilmiah adalah sama dengan p/n2.
Artinya, hanya minoritas intelektual yang memiliki produktivitas ilmiah tinggi; dari 100 orang peneliti, ada 25 orang yang menghasilkan 2 karya per orang (100/22), dan hanya 1 orang yang menghasilkan 10 karya per orang (100/102).
Indonesia perlu belajar dari China dan India dalam memanfaatkan “energi” fenomena brain drain bagi pembangunan bangsa. Ibarat seorang Master “Tai-Chi” yang memanfaatkan energi lawan untuk melumpuhkan lawan itu sendiri. China dan India, dua negara dengan populasi raksasa di Asia ini, mengalami eksodus ilmuwan terutama ke Amerika Serikat pada awal 1990-an [7]. Alih-alih merana dengan fenomena brain drain, dunia justru saat ini menyaksikan kebangkitan industri di kedua negara tersebut. Para analis memprediksi bahwa kekuatan ekonomi China akan segera menyaingi Paman Sam dalam waktu dekat.
Kebangkitan industri dan ekonomi di China dan India bukan sekadar karena tersedianya tenaga kerja yang murah. India dilirik investor dunia, salah satunya karena tingginya modal intelektual per satuan dolar AS. Tiga negara yang menduduki peringkat atas dalam hal jumlah publikasi ilmiah per satuan GDP adalah India (31,7%), China (23,32%), dan Amerika (7%) [6]. Meski termasuk dalam negara berkembang, India merupakan negara maju bila dilihat dari infrastruktur intelektual [6]. Dari 2.300 karyawan Fasilitas R&D General Electric terbesar di dunia yang berlokasi di India, 700 orang di antaranya adalah para profesional India yang memilih kembali dari Amerika Serikat [6]. Fenomena reverse brain drain ini mempercepat kebangkitan industri di India. Bisa jadi kebangkitan industri dan ekonomi di China dan India tidak akan secepat dan sebesar sekarang bila tidak terjadi reverse brain drain yang menghadirkan tenaga andal dengan akumulasi pengalaman profesional dari
negara maju.
Kembalinya para profesional ke negara asal juga membawa serta kultur budaya maju yang telah menyatu dengan dirinya pada saat menjalani kehidupan di negara maju. Akan terjadi pengayaan kebijakan pemerintah manakala para profesional tadi menduduki posisi-posisi kunci di pemerintahan.. UNESCO melaporkan bahwa pada tahun 2004 China membelanjakan 1,44% dari PDB untuk kegiatan riset dan pengembangan. Angka ini merupakan yang tertinggi untuk Asia [2]. Council of Scientific and Industrial Research (CSIR) India telah mendaftarkan 542 paten di Amerika dalam kurun waktu 2002-2004. Jumlah ini melebihi total jumlah paten Amerika yang didaftarkan oleh Jepang, Prancis, dan Jerman [5].
Keberadaan para pelaku brain-drain di luar negeri pada saat ini perlu dimaksimalkan pemanfaatannya “ala” jurus membalik energi Master “Tai-Chi”. Patut diakui bahwa banyak mahasiswa Indonesia yang berangkat ke luar negeri dengan bantuan ilmuwan kita di mancanegara, umumnya dalam bentuk akses informasi beasiswa ataupun memberikan rekomendasi kepada calon pembimbing di mancanegara. Ilmuwan Indonesia yang sedang bekerja di luar negeri juga bersentuhan dengan teknologi canggih yang bagi ilmuwan di negara kita masih menjadi impian. Kerja sama riset antara ilmuwan dalam dan luar negeri merupakan wahana untuk maksimalisasi potensi tersebut. Tanpa perlu ditagih, ilmuwan yang lahir dari rahim Ibu Pertiwi akan secara alamiah terpanggil memberikan kontribusinya bagi Merah Putih.
Di sisi lain, tingginya dana bidang pendidikan belakangan ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk menyediakan ladang persemaian yang kondusif bagi para cerdik cendekia dalam mengaktualisasikan diri, termasuk bagi ilmuwan yang saat ini bekerja di luar negeri. Belajar dari India, investor bidang teknologi tinggi akan melirik negara dengan infrastruktur intelektual yang kuat. Pelaku brain-drain secara alamiah akan pulang ke tanah air manakala kondisi keilmuan di Indonesia mulai membaik. Kehadiran mereka dengan membawa budaya iptek yang maju diharapkan mempercepat pembangunan bangsa. Bisa jadi, budaya iptek maju tersebut tidak bisa mereka dapatkan apabila mereka saat ini dipaksa untuk berkarya di tanah air. Meminjam istilah Riccardo Giacconi, bahwa Michael Angelo pun butuh kanvas untuk melukis.
Musibah atau berkah, tergantung bagaimana bangsa kita menyikapinya.
Yuli Setyo Indartono
FTMD ITB
Brain Drain: Musibah Atau Berkah?
Oleh : Yuli Setyo Indartono
Daftar Pustaka
1. Antara News, I4: Berdayakan Ilmuwan Indonesia di Luar Negeri, 26 Oktober 2009.
2. “Asian Science on the Move”, Science, 311, January 2006.
3. Cervantes, M. And Guellec, D., “The brain drain: Old myths, new realities”, OECD Observer No.230, January 2002.
4. Dikti Kehilangan Ratusan Ilmuwan, Harian Rakyat Merdeka, URL : http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/2009/08/12/10359/Dikti-Kehilangan-R atusan-Ilmuwan, akses 21 Nopember 2009.
5. Jayaraman, K.S., “Is India’s ‘patent factory’ squandering funds?”, Nature, 442, 13 July 2002.
6. Marshelkar, R.A., “India’s R&D: Reaching for the Top”, Science, 307, February 2005.
7. Wikipedia, “Brain Drain”, URL: www.wikipedia.org, akses 20 Nopember 2009.
8. URL: wordnetweb.princeton.edu/perl/webwn, akses 20 Nopember 2009.