Pernikahan adalah sunatullah, sebagaimana firman Allah SWT: ‘Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah diciptakannya untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu mendapatkan ketenangan hati dan dijadikannya kasih sayang diantara kamu. Sesungguhnya yang demikian menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi kaum yang berfikir.” (QS Ar-Rum: 21).

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang orang yang layak (berkawin) dari hamba hamba sahayamu yang laki laki dan perempuan. JIKA MEREKA MISKIN ALLAH AKAN MEMAMPUKAN MEREKA DENGAN KARUNIA-NYA. Dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (An Nuur : 32).

Juga sabda Rasulullah SAW: “Wahai segenap pemuda, barangsiapa yang mampu memikul beban keluarga hendaklah kawin. Sesungguhnya perkawinan itu lebih dapat meredam gejolak mata dan nafsu seksual, tapi barangsiapa yang belum mampu hendaklah dia berpuasa karena (puasa itu) benteng (penjagaan) baginya.” (HR Bukhari).

Maka menjadi suatu pertanyaan bagi kita kenapa pernikahan yang sangat dianjurkan itu menjadi polemic di masyarakat. Tidak diatur salah, diatur juga salah, sebenarnya apa yang kita kehendaki?

Alsan-alasan yang sering dikemukakan kadankala lebih banyak tidak berkait dengan perintah nikah itu sendiri tetpi lebih sering dari olah piker manusia.

Istilah pernikahan siri juga menjadi sumber perdebatan yang cukup krusial. Sementara itu mereka yang berdebat ternyata memiliki pengertian yang berbeda. Siri oleh merka lebih banyak diartikan sebagai pernikahan diam-diam. Pernikahan yang dilakukan secara tersembunyi agar orang lain tidak tahu. Bahkan di lingkungan mereka mengatakan belum menikah. Sementara yang lain menyebut pernikahan siri adalah yang tidak dicatatkan ke pemerintah seperti KUA misalnya.

Dicatatkan atau tidak, siri atau bukan maka yang disebut pernikahan bagi umat Islam adalah sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Tiada sah pernikahan kecuali dengan (hadirnya) wali dan dua orang saksi dan dengan mahar (mas kawin) sedikit maupun banyak.” (HR at-Thabrani).

Jadi semestinya pernikahan bukanlah harus di depan petugas KUA, tetapi KUA mencatat siapa yang menikah, siapa wali siapa saksi berapa mahar dan sahkah posisi mereka sebagai mempelai, saksi dan wali? Merka harus dilihat hubungan kekerabatannya apakah boleh menikah? Ataukah boleh menjadi wali? Begitu juga dengan saksi?

Yang saat ini ada adalah perkawinan harus dihadapan petugas KUA sehingga meskipun hari libur mereka harus didatangkan. Bahkan biaya juga cukup banyak baik datang atau mendatangkan sehingga sering menjadi kendala bagi mereka yang tidak mampu, apalagi yang mampu kadang memberi berlebih. Adakah yang menolak pemberian di atas pemberian yang wajar? Rasanya kok belum pernah. Karena pemberian dalam bentuk amplop dan tidak ada tanda terima. Inilah uniknya mengundang petugas.

Andai ada kemudahan dalam mencatatkan pernikahan baik yang monogamy atau poligami, tentunya bukan alasan lagi tentang adanya ketakutan akan nasib wanita atau anak hasil pernikahan yan tidak dicatatkan. Alasan ini sebenarnya adalah alasan  yang dicari-cari. Menelantarkan istri dan anak juga banyak dilakukan oleh yang menikah resmi karena itu disebakan oleh nafsu manusia yang tidak memahami agama. Banyak wanita dan anak terlantarkan oleh merka yang menikah resmi namun tidak dipermasalahkan atau menjadi dasar pembela, sementara wanita yang dinikah tanpa pencatatan KUA (saya tidak mau menyebut siri) juga tidak pernah didengar suaranya apakah mereka diterlantarkan?
doa

Memang sebaiknya, wanita yang akan menikah, meminta calon suami untuk mengurus ke KUA dengan tujuan untuk mensyahkan pernikahannya di hadapan hukum Negara dan melihat kesungguhan calon suami, namun bukan untuk menganggap bahwa hukum Negara lebih hebat dari hukum Allah SWT. Lakukan pernikahan sesuai ajaran agama. Lakukan pula walimah seperti yang dianjurkan Rasulullah SAW meski hanya dengan menyembelih satu ekor kambing (setidaknya beritahu tetangga bahwa kita menikah dan mereka tahu siapa istri/suami kita) sehingga tidak adalagi istilah nikah siri apalagi nikah kontrak yang diharamkan agama sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Bukhari.