Nur Hidayat (Materi Kultum ba’da maghrib)
Segala puja dan puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan pada Junjungan kita Nabi Muahammad SAW.
Sadaraku
Dalam segala setindakan yang kita lakukan tentunya telah dilandasi suatu niatan sebelumnya. Jarang sekali apa yang kita alami adalah suatu kebetulan dan tiba-tiba. Sebagian besar tentunya telah kita rencanakan. Hanya orang-orang yang tidak memiliki semangat hidup yang tidak merencanakan segala sesuatunya.
Perencanaan itu disebut dengan niat, jadi niat bukanlah ucapan namun kehendak hati untuk melaksanakannya.
Umar bin Khattahab r.a. berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya sah atau tidak sesuatu amal, tergantung pada niat. Dan yang teranggap bagi tiap orang apa yang ia niatkan…………… dst. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas cukup panjang dan berbicara tentang hijrah Nabi.
Para ulama menganggap pentingnya sebuah niat. Niat bahkan menjadi wajib untuk ibdah wajib seperti shalat, puasa dan haji.
Orang akan shalat hatus berniat shalat bukan niat yang lain, meski ia mengucapka lafadh niat tapi hatinya berkata ia shalat karena ingin dilihat alim, maka itulah yang ia dapatkan, bukan pahala shalat. Begitu juga dengan puasa, puasa ramadhan harus dimulai dengan niat sedang puasa sunnah dapat tanpa diniatkan terlebih dahulu.
Begitu pentingnya niat hingga para ulama ada yang takut lupa sehingga niat bukan hanya diucapkan di hati namun diikrarkan di mulut. Hal ini dapat kita lihat ketika orang melafadhkan niat shalat. Bahkan dalam sebuah shalat dhuhur seorang imam mengucapkan niat hingga terdengar jamaah di belakangnya smentara bacaan Al fathihah yang diucapkan pelan tidak terdengar sama sekali, padahal niat di hati dan Al fatihah di mulut tapi kerasnya berbeda. Saya tidak memeprmasalahkan pengucapan niat namun sebaiknya jangan mengganggu jamaah, cukuplah diri sendiri yang mendengar jika mau diikrarkan.
Ulama-ulama terdahulu juga sangat berhati-hati dalam niat. Bahkan ada seorang ulama yang menitipkan hartanya lewat masjid untuk dibagi agar orang tidak tahu dari siapa karena ia tidak ingin disebut riya sebagai mana dalam sebuah hadits:
Ma’nu bin Jazid r.a berkata: “Ayahku jazid biasa mengeluarkan beberapa dinar untuk sedekah dan dititipkan pada pada seseorang di masjid untuk diberikan pada fakir miskin yang minta-minta. Maka saya minta dari orang yang dititipi itu, dan saya tunjukkan pada ayahku. Ia berkata: “Demi Allah, bukan kepadasmu saya tujukan sedekah itu. Dan hal itu saya ajukan kepada Rasulullah SAW. Maka sabda Nabi SAW: “bagimu apa yang kamu niatkan hai Jazid dan bagimu apa yang kamu ambil hai Ma’nu: (HR Bukhari).
Ada pula sesorang yang kaya raya meninggal dunia, ketika dimandikan banyak orang heran karena di bagian pundaknya terdapat kulit keras yang menunjukkan sering memanggul beban berat padahal ia orang terpandang dan kaya dengan banyak budak. Namun keheranan itu berubah menjadi kekaguman ketika beberapa hari kemudian, ada khabar bahwa di desa terdekat kemsikinan nampak lagi karena tak ada lagi bahan makanan yang tersedia secara Cuma-Cuma di desa mereka.
Mampukan kita meniru para ulama yang meniatkan setiap perbuatan baik tanpa harus diucapkan berlebihan?
Semoga di hati kita selalu ada niat untuk setiap kebaikan.
Wassalam